• +62251-8629362
  • info@pei-pusat.org; peipusat@yahoo.com
  • Register
  • Log in
  • BERANDA
  • PROFIL PEI
    • Sejarah PEI
    • Pengurus Pusat
    • Pengurus Cabang
    • History PEI
  • AD-ART
    • ART
    • AD
  • KEGIATAN
  • KEANGGOTAAN
    • Form Pendaftaran
    • Konfirmasi Pembayaran
  • PUBLIKASI
    • JEI
    • Prosiding
    • Buku
    • IDEA
    • Presentasi
  • BERITA
  • GALERI
    • Foto
    • Puisi
    • Video
  • KONTAK
  • ICCESI 2019

Terjebak di Batu Ambar 99 Juta Tahun, Kumbang Ini Ungkap Kisah Prasejarah

20 AUGUST 2018

Lebah dan kupu-kupu terkenal karena kehebatan mereka melakukan penyerbukan pada bunga. Namun, jauh sebelum dua serangga ini melakukan hal tersebut, kumbang sudah lebih dulu melakukannya dan mereka membantu penyebaran tanaman di seluruh dunia.

Salah satu tanaman yang dibantu penyerbukannya oleh kumbang adalah tanaman sikas. Tanaman yang seperti campuran antara palem dan pakis ini sudah tumbuh sejak 240 juta tahun lalu atau sejak Bumi dihuni dinosaurus.

Sikas sebenarnya lebih erat hubungannya dengan pinus. Tumbuhan yang dipercaya sudah tumbuh sebelum tanaman bunga itu memiliki batang tebal, berbentuk kerucut seperti nanas, dan memiliki daun berbulu. Saat mempelajari sikas modern di laboratorium, ahli sebenarnya sudah tahu bahwa di masa lalu tumbuhan ini dibantu penyerbukannya oleh kumbang. Kini, ahli paleontologi benar-benar membutikannya dengan temuan kumbang yang terjebak dalam batu ambar.

Dalam laporan di jurnal Current Biology, Kamis (16/8/2018), ahli mengungkap kumbang yang ditemukan di Myanmar itu berusia 99 juta tahun. Selain tubuh yang masih lengkap, di dalamnya juga ada serbuk sari yang ikut terawetkan.

"Saat kami menemukan bukti nyata antara hubungan keduanya di masa lalu, ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan," ujar Chenyang Cai rekan peneliti dari Universitas Bristol, Inggris, dilansir New York Times, Kamis (16/8/2018).

Kumbang yang terjebak di batu ambar berukuran sekitar dua milimiter, dan dikenal sebagai kumbang boganiid. Kumbang ini mempunyai rongga kecil penuh dengan rambut di bawah tulang mandibula atau rahang bawah, yang berfungsi seperti kantong untuk mengumpulkan serbuk sari.

Kantong rahang itu diketahui setelah Cai berhasil mengeluarkan fosil dari batu ambar dan menempatkannya di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Hal yang paling mengejutkan adalah, ia melihat lusinan serbuk sari di samping kumbang.

"Saya sangat gembira saat melihatnya dan langsung penasaran serbuk sari (tanaman) apa ini. Serbuk sari itu bukan di tubuh kumbang, tetapi sangat dekat dengan mulut kumbang dan di sampingnya," ujarnya.

Cai menduga, serbuk sari itu mungkin awalnya ditelan kumbang, tapi dimuntahkan kembali setelah kumbang terjebak resin pohon. Untuk mengungkap asal usul serbuk sari itu, Cai meminta bantuan Liqin Li, ahli yang fokus mempelajari serbuk sari purba di Chinese Academy of Sciences dan ikut menulis laporan.

Dengan mengamati alur panjang pada butir berbentuk oval, Li mengidentifikasi serbuk sari itu adalah kepunyaan sikas kuno. Para ahli juga menemukan, kerabat terdekat kumbang ini yang ditemukan di Australia juga menyerbuki sikas.

Berbeda dengan tanaman bunga, sikas merupakan tanaman berumah 2, ada jantan dan betina yang berbeda. Saat seekor kumbang terbang ke kerucut tanaman jantan, ia mencari serbuk sari untuk makan atau tempat untuk bertelur, ia kemudian menyapu serbuk sari.

"Secara tidak langsung kumbang melakukan penyerbukan tanaman. Seperti simbiosis mutualisme, tanaman dibantu penyerbukan dan kumbang mendapat makanan," ujar Michael Engel, seorang paleontomolog di University of Kansas.

Meski kumbang berusia 99 juta tahun, Dr. Cai dan Dr. Engel yakin temuan mereka menjelaskan hubungan yang jauh lebih tua, mungkin sudah terjadi sejak Periode Trias/ Itu artinya, kumbang telah membantu penyerbukan tanaman lebih dari seratus juta tahun sebelum kupu-kupu dan lebah melakukan tugas itu pada tanaman bunga (sekitar 130 juta tahun lalu).

"Serangga dan tumbuhan adalah makhluk hidup yang paling mendominasi bumi. Hubungan inti, keduanya telah melewati berbagai periode waktu dan fosil ini hanya salah satu komponen di dalamnya," ujar Engel.

 

Sumber: Kompas.com

Artikel Lainnya


  • Mengapa Orang Tertentu Lebih Sering Digigit Nyamuk?
  • Lawan Masalah Plastik, Ahli Kembangkan Bioplastik dari Sarang Lebah
  • Webinar Teknik Koleksi dan Fotografi Serangga dengan tema "Insect for the Sustainability of Life"
  • Wabah Demam Berdarah di Asia Tenggara, Aktivis Hewan Larang Masyarakat Bunuh Nyamuk
  • Kawin Bikin Sistem Imun Ratu Semut Meningkat, Kok Bisa?

Sekretariat Perhimpunan Entomologi Indonesia: Jalan Kamper Kampus IPB Dramaga, Wing 7 Level 5, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor Jawa Barat, 16680, Indonesia

  • +62251-8629362
  • info@pei-pusat.org
  • peipusat@yahoo.com
Media sosial
Twitter Timeline
Tweets by pei_pusat
Berita Terbaru
Webinar Nasional "Cermat Menakar Manfaat Insektisida Dalam Implementasi Pengelolaan Hama Terpadu"

Nov 23,2022

SEMINAR NASIONAL (HYBRID) JURUSAN PERLINTAN UNIB PEI-PFI KOMDA BENGKULU

Oct 22,2022

Pelatihan Identifikasi Semut dengan tema "Semut dalam Kehidupan Manusia dan Perannya bagi Lingkungan dan Pertanian"

Sep 13,2022

Prosiding Seminar Nasional dan Kongres PEI Cabang Bandung 2021

Sep 07,2022

Tautan
PEI Cabang Yogyakarta
PEI Cabang Palembang
Perlindungan Tanaman
Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
Submit Abstract ICCESI 2019
Flag Counter

Copyright ©2017 Perhimpunan Entomologi Indonesia. All Rights Reserved

Powered by SevenLight.ID