

“Laba-laba yang marah akan mewarisi Bumi.” Setidaknya, itulah kesimpulan para ilmuwan Kanada setelah menyaksikan bagaimana laba-laba di daerah rawan badai menanggapi peristiwa cuaca ekstrem.
Meskipun perubahan iklim mungkin tidak menyebabkan lebih banyak badai, para ilmuwan menduga hal itu dapat meningkatkan intensitasnya dan menyebabkan ledakan cuaca yang lebih ekstrim yang dikenal sebagai peristiwa "angsa hitam".
"Sangatlah penting untuk memahami dampak lingkungan dari peristiwa cuaca 'angsa hitam' ini terhadap evolusi dan seleksi alam," kata penulis utama Jonathan Pruitt dari Universitas McMaster dalam sebuah rilis.
"Dengan naiknya permukaan laut, kejadian badai tropis hanya akan meningkat. Sekarang, lebih dari sebelumnya kita perlu bersaing dengan apa dampak ekologis dan evolusi dari badai ini bagi hewan-hewan non-manusia."
Lalu bagaimana perubahan iklim memengaruhi laba-laba? Ibarat angin kencang, misalnya, dapat menghancurkan pohon, melucuti daunnya dan secara dramatis mengubah lantai hutan.
Untuk jenis perayap menyeramkan, itu tak lain seperti tsunami, koloni yang menghancurkan. Para peneliti mencatat, laba-laba agresif tidak memiliki keraguan mengkanibal jenis mereka sendiri, menimbun persediaan dan menyerang siapa pun yang menghalangi mereka. Dengan kata lain, itu adalah cara bertahan hidup bagi si bengis.
Untuk studi tersebut, yang diterbitkan minggu ini di jurnal Nature, para peneliti mengamati 240 koloni dari spesies Anelosimus studiosus - seekor laba-laba Amerika Utara yang dikenal hidup bersama, dengan ratusan jenis yang berbagi jaring yang sama.
Anelosimus studiosus juga memasang jaring mereka di atas danau dan sungai, membuat mereka sangat rentan terhadap badai.
Para ilmuwan membandingkan koloni sebelum dan sesudah mereka dilanda tiga badai tropis utama pada tahun 2018. Tim juga memantau kelompok kontrol laba-laba yang tidak mengalami cuaca ekstrem. Mereka yang beruntung.
Ketika badai meletus, menghancurkan rumah sutra mereka, mereka bukan lagi si Tuan Laba-laba Baik. Para peneliti mencatat, kehidupan komunal keluar dari dari kebiasaannya, ketika dua jenis laba-laba muncul: yang agresif, benar-benar kejam, dan hippie yang cinta damai.
Sebagian besar koloni laba-laba sudah memiliki perwakilan masing-masing, seringkali menentukan agresivitas keseluruhan koloni. Tetapi ketika dorongan datang, populasi lemah disingkirkan - lalu pembunuhan dan perampokan bayi satu sama lain pun dimulai.
Ini seperti "Hunger Games," ala laba-laba. Tetapi yang paling penting, ini adalah mekanisme bertahan hidup. Para ilmuwan mencatat bahwa laba-laba agresif "lebih baik dalam memperoleh sumber daya saat langka, tetapi juga lebih rentan terhadap pertikaian ketika kekurangan makanan untuk waktu lama atau ketika koloni terlalu terpapar panas."
"Siklon tropis kemungkinan memengaruhi kedua stresor ini dengan mengubah jumlah mangsa terbang dan meningkatkan paparan sinar matahari dari lapisan kanopi yang lebih terbuka," jelas Pruitt. "Agresivitas diturunkan dari generasi ke generasi di koloni-koloni ini, dari orang tua ke anak betina, dan merupakan faktor utama dalam kelangsungan hidup dan kemampuan mereka untuk bereproduksi."
Dengan kata lain, perubahan iklim memberi kita dunia baru yang marah. Dan laba-laba belajar cara menavigasinya, apa pun yang diperlukan.
Sumber: Trubus.id